Dampak Krisis Air Bersih

Krisis air bersih yang berkepanjangan menyebabkan dampak yang buruk pada segala hal. Dalam masalah kekurangan air, negara-negara miskin paling banyak merasakan dampaknya. Negara-negara ini membutuhkan air dalam jumlah besar untuk bidang irigasi, domestik dan industri. Air adalah kebutuhan mendasar manusia, tanpa air lingkungan akan kering dan manusia akan mati. Ada beberapa penyebab merebaknya masalah krisis air ini, salah satunya kegagalan beberapa negara untuk meregulasi, mengatur dan menjaga kelestarian air, selain itu juga pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat. 

Sebagai contoh, jumlah penduduk Cina yang mencapai 1,2 miliar saat ini akan membengkak menjadi 1,5 miliar pada tahun 2030. Berarti permintaan air akan meningkat sebesar lebih dari 66 persen selama periode itu. Selain itu, penggunaan sumber air bawah tanah yang tak terbatas juga memicu krisis air. Selama ini, manusia telah memanfaatkan air sebagai satu-satunya ”benda” yang tak dapat tergantikan oleh benda lain. Namun usaha untuk penyediaan air bersih belum banyak dilakukan. Bisa dibayangkan jika manusia di seluruh bumi ini terus-menerus mengonsumsi air tanpa ada yang peduli terhadap kelestariannya.

Dampak Bagi kesehatan
Parahnya masalah ketersediaan air bersih ini menimbulkan masalah yang pelik pada sektor kesehatan. Seperti pada kasus yang terdapat di situs www.sinarharapan.com dikatakan bahwa pernah terjadi di Jakarta Utara, krisis air bersih mengakibatkan tujuh bayi tewas akibat diare. Kematian tujuh bayi tersebut berawal dari krisis air bersih. Orang tua para bayi tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya, kecuali dengan memanfaatkan air sumur. Kita sangat paham dengan kondisi air sumur di Jakarta.. Setidaknya ada 20-30 jenis penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang hidup dalam air. Penelitian WHO mengenai penyediaan air bersih dan sanitasi dengan kesehatan, mengemukakan beberapa penyakit lain seperti : kolera, hepatitis, polimearitis, typoid, disentrin trachoma, scabies, malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan.

Di Indonesia terdapat empat dampak kesehatan besar disebabkan oleh pengelolaan air dan sanitasi yang buruk, yakni diare, tipus, polio dan cacingan. Hasil survei pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kejadiaan diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1.000 penduduk dan terjadi satu-dua kali per tahun pada anak-anak berusia di bawah lima tahun.

Data dari Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan menyebutkan, pada tahun 2001 angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 per 100.000 penduduk, sedangkan angka tersebut lebih tinggi pada anak-anak berusia di bawah lima tahun, yaitu 75 per 100.000 penduduk. Kematian anak berusia di bawah tiga tahun 19 per 100.000 anak meninggal karena diare setiap tahunnya-salah satu penyebab kematian anak (lainnya karena ISPA/infeksi saluran penapasan akut, dan komplikasi sebelum kelahiran) -data dari Profil Kesehatan Indonesia, 2003. Sedangkan untuk kejadian tipus di Indonesia adalah 350-810 per 100.000 penduduk. Studi klinis rumah sakit menunjukkan bahwa angka kesakitan tipus adalah 500 per 100.000 penduduk dan laju kematian adalah 0,6%-5%. Kematian akibat polio telah terjadi di Indonesia (di Provinsi Jawa Barat) pada seorang anak laki-laki berusia di bawah dua tahun. Selain itu, prevalensi cacingan di Indonesia adalah 35,3 %. Kerugian ekonomi sekitar 2,4 % dari GDP atau 13 dollar AS per bulan per rumah tangga (studi Asian Development Bank 1998).

Penyakit yang paling sering menyerang saat krisis air bersih melanda adalah diare. Penyakit yang juga populer dengan nama muntah berak (muntaber) ini bisa dikatakan sebagai penyakit endemis di Indonesia, artinya terjadi terus-menerus di semua daerah, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Diare yang disertai gejala buang air terus menerus, muntah dan kejang perut sering dianggap bisa sembuh dengan sendirinya tanpa perlu pertolongan medis. Diare memang jarang sekali yang mengakibatkan kematian, namun tidak boleh dianggap remeh. Kelangkaan air bersih dan gaya hidup yang jorok adalah penyebab dari penyakit ini. Gaya hidup yang tidak higienis & tidak memperhatikan sanitasi menyebabkan usus rentan terhadap serangan virus diare. Kasus diare yang tidak cepat ditangani dapat menyebabkan dehidrasi yang jika dibiarkan dapat berujung pada kematian. Tanda seseorang menderita diare adalah apabila frekuensi buang air besarnya lebih sering dari normal. Kotoran yang keluar encer dan terdiri dari banyak cairan. Dan gejala seperti ini bisa jadi hanya gejala penyakit yang lebih parah, yakni tipus dan kanker usus. Sebenarnya pencegahan penyakit ini sangat mudah, yakni dengan menjaga kebersihan tubuh, makanan dan minuman. Namun bagi penduduk di mana air bersih sangat sulit mengalir, tindakan tersebut tidak bisa dengan mudah dilakukan.

Sebenarnya ada empat intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah diare, yaitu pengolahan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga, melakukan praktik cuci tangan, meningkatkan sanitasi, mengingkatkan penyediaan air. Setiap intervensi memiliki memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap diare. Data tahun 2006 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa:

No. Intervensi Penurunan Angka Kejadian Diare
1 Berbagai intervensi perilaku melalui modifikasi lingkungan 94%
2 Pengolahan air yang aman dan penyimpanan di tingkat rumah tangga 39%
3 Melakukan praktik cuci tangan yang efektif 45%
4 Meningkatkan sanitasi 32%
5 Meningkatkan penyediaan air 25%

Selain diare, daerah yang terkena krisis air bersih juga rentan terhadap penyakit kulit menular. Penyakit gatal-gatal tersebut dikarenakan para warga yang jarang mandi karena terbatasnya pasokan air bersih yang mereka miliki. Air bersih yang mereka miliki hanya cukup digunakan untuk kebutuhan dapur.

Dampak Bagi Ekonomi
Krisis air bersih memberikan dampak pada bidang ekonomi. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia menetap di pulau jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia sementara potensi air yang dimiliki hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia. Dalam dua dasawarsa berikutnya diperkirakan air yang dipergunakan manusia akan meningkat 40 persen dan 17 persen lebih pasokan air dipergunakan untuk meningkatkan pangan dan populasi. Disisi lain kondisi sumber-sumber air semakin parah, khususnya di negara-negara miskin karena masalah pencemaran dan limbah. Oleh karena itu telah diserukan investasi dalam pengadaan air oleh AS dan membiarkan sektor swasta untuk menyediakan air atau privatisasi air. 

Permasalahan privatisasi air di Indonesia sekarang menjadi lebih rumit karena hampir semua Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) saat ini dalam kondisi tidak mampu membayar utang-utangnya. Dalam situasi seperti inilah, maka privatisasi air seolah-olah merupakan obat mujarab untuk membereskan masalah air bersih. Sekarang ini UU RI No.7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang didalamnya mengandung semangat privatisasi pengelolaan air telah disahkan. Pemerintah Daerah diminta mengupayakan sendiri pembiayaan pengelolaan air tersebut, atau dengan jalan mencari investor.

Di Jakarta, 95 persen saham perusahaan pengelolaan air minum dimiliki dua perusahaan asing, RWE Thames dari Inggris dan Ondeo Suez asal Perancis. Di daerah lain pun sejumlah perusahaan besar dunia di sektor air telah beroperasi. Misalnya, Biwater di Batam dan Palembang; Ondo Suez di Medan, Semarang, dan Tangerang; Thames Water di Sidoarjo; dan Vivendi yang juga beroperasi di Sidoarjo. Pemberlukan UU Nomor 7 Tahun 2004 dimana sektor swasta diperbolehkan untuk mengelola sumber daya air di Indonesia dianggap pemerintah sebagai solusi untuk pengelolaan sumber daya air. dengan harapan jika masyarakat diberi nilai air secara ekonomis tinggi, maka perlakukan masyarakat terhadap air menjadi berbeda: lebih hemat, menjaga dan mensyukuri.

Sebenarnya, privatisasi tersebut akan membuat akses masyarakat terhadap air menjadi terbatas dan mahal. Karena seluruh biaya pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung semata pada pemakai dalam bentuk tarif. Sebenarnya dengan komersialisasi air, mereka yang memiliki uang paling banyaklah yang akan mendapat air paling banyak. Masyarakat miskin yang tidak punya uang justru makin sulit mendapat air sehingga banyak orang yang tidak mampu mendapat air sehat untuk minum. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta Utara menurut pengakuan seorang warga yang dikutip dari www.kompas.com mengatakan bahwa ”Uang yang semula disimpan untuk belanja kebutuhan lain, seperti beras dan minyak tanah, diambil buat membeli air. Kami terbebani.” Sumber: Mandaazzahra’s Weblog